Mimpi Perang Dunia Ketiga



Berlatar 2024, Sore, di Kabupaten Kaur Bengkulu.

Sebelumnya, tiga orang sekawan, salah satu saya, dua orang lain samar-samar. Menyusuri diorama pantai Kaur yang saat ini terasa sangat aneh dan luas bak di pinggiran hutan belantara. 

Terjadi cekcok lantaran diri yang tak menau wilayah, tiba-tiba ditinggal teman. 

Ketika nyaris sesat, ketemu lima anak warga sekitar tengah bermain mengingatkan jalan yang aku tuju sangat jauh meski pikiran ku mengatakan itu adalah jalan pesisir yang pastinya pintas. Tapi ku indahkan demi keselamatan dan mengira mungkin akan bertemu kawan yang karena hanya punya satu kendaraan, bergantian mengantarkan.

Namun ternyata salah. Ketika berpapasan justru menambah satu orang yang justru membuat makin kesal. Di tengah rintik hujan kami pun memaksa diri untuk pulang. Namun bukan nya lancar justru tersasar di hutan belantara yang ada kedai dengan banci penjualnya. Kami sekali lagi bertanya dia mengarahkan agar kami lewat jalur kanan karena jalur kiri pesisir. Kondisi jalan semak belukar menunjukkan pantai lereng dan barulah jalan raya.

Sebelum sampai di jalan raya, kami menemukan aliran air. Di sana kami seperti di dunia dongeng. Ketika duduk di tepi kolam tak sengaja melihat sebuah petunjuk adanya batu granit yang sudah setengah hancur bercorak peta Indonesia. Takjub, kami bertiga/berempat menyusuri sungai dan menemukan sebuah foto presiden yang ternyata bukan fotoku seperti yang ada di suatu tempat yang aku iseng memasangnya. Tapi foto Gareng sang penguasa jin lautan dan gunung.

Semakin terkejut, kami pun menerus kan langkah. Bahkan harus menemui keajaiban lain bahwa ada petunjuk luar biasa gugusan air belik yang masing-masing tingkatan memiliki corak ular dengan golongan terendah hingga raja di atas kolam berpeta Indonesia tadi.

Sesampainya di tingkatan paling atas, barulah kami bertemu penduduk seperti di animasi seorang tukang cukur rambut yang harus dibuang ke sumur kematian, lantaran tahu bahwa rajanya memiliki tanduk. Mereka segerombolan. Betapa terkejutnya juga banyak dari warga Kota Bengkulu yang ternyata juga tersesat termasuk salah satunya pak Rohidin Mersyah. Di sinilah kita menemukan keanehan yang kemudian diberi petunjuk untuk pulang melalui jalan awal yang diberikan si bencong.

Namun saking sangat jauhnya hari tiba kisaran pukul 17.30 WIB dan kami semuanya tanpa kendaraan. Kami berlari berhadap cepat sampai di pusat kota. Rasanya jarak antara hutan laut ke kota mencapai ratusan km. 

Baru pertengahan jalan melelahkan, kami curiga melihat di 30 km di depan kami banyak sekali kilatan cahaya bak petir. Semakin dekat ternyata invasi tentara Korea yang entah mengapa di mimpi merupakan antek Amerika Serikat. Dibantai lah kami menggunakan pesawat tempur dengan senjata yang mengeluarkan kilatan petir yang ketika diperhatikan sengatan listrik pengejut. Namun durasinya setiap pesawat bisa 1 menitan jeda pada jarak dan tembakannya. Kami memanfaatkan ini untuk lari menyelamatkan diri. Ke hutan di samping sisi kanan jalan dan bersembunyi di semak belukar berharap tidak dilihat pesawat tempur. 

Di tengah kekhawatiran, Gubernur Rohidin pun menyemangati kami untuk lari bergerilya. Sampai akhirnya dia menelpon Jokowi, hingga 40 menit selanjutnya serangan mereda. Rohidin menyampaikan kesalahan fatal sampai harus membumi hanguskan warga yang seperti sedang di pelarian/pengungsian sambil menutup mimpi, "besok kita gulingkan pak Jokowi, sampai rakyat sendiri ditembaki antek AS tidak tahu."